Safrida Liasna br.Tarigan (11-057)
Nenita Sari S G (11-069)
Yohana Chrisela (11-083)
Mira Tantri Saragih (11-099)
Nenita Sari S G (11-069)
Yohana Chrisela (11-083)
Mira Tantri Saragih (11-099)
·
SLB
G ( Anak Tunaganda )
SLB G adalah sekolah yang khusus untuk mendidik anak yang Tunaganda. Departemen Pendidikan Amerika Serikat memberikan pengertian anak-anak yang tergolong tunaganda adalah anak-anak yang karena mempunyai masalah-masalah jasmani, mental atau emosional yang sangat berat atau kombinasi dari beberapa masalah tersebut, sehingga agar potensi mereka dapat berkembang secara maksimal memerlukan pelayanan pendidikan sosial, psikologi dan medis yang melebihi pelayanan program pendidikan luar biasa secara umum, (Heward dan Orlansky,1988, p:370). Istilah lain yang digunakan untuk menyebut anak tunaganda :
- Anak tunamajemuk
- Anak cacat ganda
- Anak cacat majemuk
- Multiple handicaps
- Multiple disabilities
Sementara
itu, beberapa ahli pendidikan luar biasa menggunakan pendekatan perkembangan
anak untuk memberikan pengertian tentang anak tunaganda. Seorang individu yang
berusia 21 tahun tetapi tingkat perkembangan fungsi-fungsinya hanya setengah
atau kurang dari tingkat perkembangan yang seharusnya dicapai berdasarkan usia
kronologis, dianggap sebagai anak yang mengalami tunaganda. Walaupun, ada
kelompok lain yang beranggapan bahwa pendekatan perkembangan tersebut kurang
relevan terhadap populasi ini. Sebagai penggantinya, mereka memberikan
penekanan bahwa seorang anak yang tergolong tunaganda adalah anak yang
memerlukan latihan dalam hal keterampilan-keterampilan dasar, misalnya dalam
bergerak dari satu tempat ke tempat lain tanpa bantuan, dalam berkomunikasi
dengan orang lain, dalam mengontrol fungsi-fungsi perut dan kandungan kemih dan
makan sendiri (Sontag, Smith dan Sailor seperti di kutip oleh Heward dan
Orlansky,1988). Sebagian besar anak-anak reguler biasanya dapat melakukan
keterampilan-keterampilan dasar pada usia 5 tahun, sementara itu anak-anak
tunaganda perlu latihan-latihan khusus untuk dapat melakukannya. Mereka ini
tidak dapat diberikan pengajaran akademik seperti halnya anak-anak regular pada
umumnya. Oleh karena beratnya dan banyaknya kelainan yang dimiliki oleh
anak-anak tunaganda, maka tidak ada perilaku-perilaku khusus yang berlaku umum
bagi semua anak yang tergolong tunaganda. Setiap anak mempunyai perbedaan dalam
hal fisik, intelektual dan ciri-ciri sosial, serta masing-masing hidup dalam
lingkungannya sendiri yang berbeda. Perilaku-perilaku yang sering tampak adalah
sebagai berikut:
1.
Kurang komunikasi atau
sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
Hampir semua anak yang tergolong tunaganda memiliki
kemampuan yang sangat terbatas dalam mengekspresikan atau mengerti orang lain.
Banyak diantara mereka yang tidak dapat bicara atau apabila ada komunikasi
mereka tidak dapat memberikan respon. Ini menyebabkan pelayanan pendidikan atau
interaksi sosial menjadi sulit sekali. Anak-anak semacam ini tidak dapat
melakukan tugas walaupun tugas yang paling sederhana sekalipun.
2. Perkembangan motorik dan fisik yang
terbelakang.
Sebagian besar anak tunaganda mempunyai keterbatasan dalam
mobilitas fisik. Banyak yang tidak dapat berjalan, bahkan untuk duduk dengan
sendiri . Mereka berpenampilan lamban dalam meraih benda-benda atau dalam
mempertahankan kepalanya agar tetap tegak dan seringkali mereka hanya berbaring
di atas tempat tidur.
3.
Mereka seringkali
mempunyai perilaku yang aneh dan tidak bertujuan
Misalnya menggosok-gosokkan jarinya ke wajah, melukai diri
(misalnya membenturkan kepala, mencabuti rambut dan sebagainya) dan karena
seringnya, kejadian ini sangat mengganggu pengajaran atau interaksi sosialnya.
4.
Kurang dalam
keterampilan menolong diri sendiri
Sering kali mereka tidak mampu mengurus kebutuhan dasar
mereka sendiri seperti makan, berpakaian, mengontrol dalam hal buang air kecil,
dan kebersihan diri sendiri. Ini memerlukan latihan-latihan khusus dalam
mempelajari keterampilan-keterampilan dasar ini.
5.
Jarang berperilaku dan
berinteraksi yang sifatnya konstruktif
Secara umum, anak-anak yang sehat dan anak-anak yang
tergolong cacat senang akan bermain dengan anak-anak yang lain, berinteraksi
dengan orang dewasa, dan ada usaha mencari informasi mengenai dunia sekitarnya.
Namun demikian, anak-anak yang tergolong tunaganda tampaknya sangat jauh dari
dunia kenyataan dan tidak memperlihatkan emosi-emosi manusia yang normal.
Sangat sukar untuk menimbulkan perhatian pada anak-anak yang tergolong
tunaganda atau untuk menimbulkan respon-respon yang dapat diobservasi (Heward
& Orlansky, 1988,p:372 ). Di balik keterbatasan-keterbatasan di atas,
sebenarnya anak-anak tunaganda juga mempunyai ciri-ciri positif yang cukup
banyak, seperti kondisi yang ramah dan hangat, keras hati, ketetapan hati, rasa
humor, dan suka bergaul. Banyak guru yang memperoleh kepuasan dalam memberikan
pelayanan kepada anak-anak.
6.
Kecenderungan lupa
akan keterampilan-keterampilan yang sudah dikuasai.
Misalnya anak yang mengalami gangguan mutiple handicaps yang
sudah bisa untuk mengetahui bagaimana ia memakai bajunyan sendiri memiliki
kemungkinan untuk dapat mengingat kembali kemampuannya tersebut.
7. Memiliki masalah dalam
menggeneralisasikan keterampilan dari suatu situasi ke situasi lainnya.
Ketika seorang anak yang multi handicaps dapat merobek
kertas di dalam lingkungan kelasnya ataupun teman-teman nya di sekolah, namun
ketika ia berada di masyarakat, ia akan cenderung tidak dapat menunjukkan
ataupun menampilkan keahliannya tersebut di depan orang banyak.
KLASIFIKASI
Dari sekian banyak kemungkinan kombinasi kelainan, ada beberapa kombinasi yang paling sering muncul dibandingkan kombinasi kelainan-kelainan yang lainnya, yaitu:
1. Tunagrahita dan cerbral palsy
Ada suatu kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa anak-anak
cerbral palsy (CP) adalah anak-anak tunagrahita. Apapun penyebabnya, baik karena
genetik atau faktor lingkungan sehingga terjadi adanya kerusakan pada sistem
saraf pusat dapat menyebabkan rusaknya cerbral cortex sehingga menimbulkan
tunagrahita. Namun demikian, hubungan tersebut tidak berlaku secara umum.
Sebagai contoh, hasil-hasil penelitian yang dilakukan Holdman dan Freedheim
terhadap seribu kasus klinik mediknya, hanya dijumpai 59% dari anak-anak CP
yang dites adalah anak-anak tunagrahita (Kirk dan Gallagher, 1988). Hopkins,
Bice, dan Colton mendapatkan bahwa 49 % dari 992 anak CP yang dites adalah anak
tunagrahita. Sementara itu, Stephen dan Hawks memperkirakan bahwa antara 40-60%
dari anak CP adalah anak tunagrahita. Melakukan diagnosis untuk menentukan
apakah seorang anak adalah tunagrahita diantara anak-anak CP dengan tes
inteligensi yang baku adalah sangat sulit untuk dipercaya. Seringkali kurangnya
kemampuan dalam berbicara dan lemahnya kontrol terhadap gerak-gerak spastik
pada anak-anak CP memberikan kesan bahwa anak-anak tersebut adalah anak-anak
tunagrahita. Pada kenyataannya, sebenarnya hanya sedikit terdapat hubungan
langsung antara tingkat gangguan fisik dengan inteligensi pada anak-anak CP.
Seorang anak yang spastik berat mungkin secara intelektual dapat digolongkan
sebagai gifted dan anak lainnya yang mempunyai gangguan fisik ringan dapat
digolongkan tunagrahita yang berat. Assesmen mengenai ketunagrahitaan pada
anak-anak CP adalah benar-benar sulit dan seringkali akan memakan waktu
berbulan-bulan untuk melaksanakannya. Apabila setelah melalui pengajaran yang
tepat beberapa waktu lamanya seorang anak relatif tidak memperoleh kemajuan
apa-apa, maka diagnosis yang mengatakan bahwa anak tersebut mengalami
tunagrahita adalah tepat.
2. Kombinasi Tunagrahita dan Tunarungu
Anak-anak tunarungu mengalami
berbagai masalah dalam perkembangan bahasa dan komunikasi. Sementara itu,
anak-anak tunagrahita akan mengalami kelambanan dan keterlambatan dalam
belajar. Pada anak tunaganda, bisa saja terjadi anak tersebut mengalami
tunagrahita yang sekaligus tunarungu. Anak-anak yang demikian, mengalami
gangguan pendengaran, memiliki fungsi intelektual di bawah rata-rata dan
mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Dengan
demikian, adanya kombinasi dari ketiga keadaan tersebut menyebabkan anak-anak
tunaganda memerlukan pelayanan yang lebih banyak daripada anak-anak yang
mengalami tunagrahita atau tunarungu saja. Diperkirakan bahwa antara 10%-15%
anak di sekolah tunagrahita adalah anak-anak yang mengalami gangguan
pendengaran dan dalam persentase yang sama anak-anak di sekolah tunarungu
adalah anak-anak tunagrahita.
3. Kombinasi Tunagrahita dan Masalah-masalah Perilaku
Telah diketahui bahwa terdapat
hubungan antara tunagrahita dengan gangguan emosional. Anak-anak yang mengalami
tunagrahita berat ada kemungkinan besar juga memiliki gangguan emosional. Yang
tidak diketahui adalah banyaknya anak secara pasti yang menampakkan kedua
kelainan tersebut bersama-sama. Ada gejala-gejala bahwa tunagrahita yang cukup
kuat dan nyata yang menyertai atau bersama-sama dengan gangguan emosional
cenderung untuk diabaikan atau dikesampingkan. Ini berarti bahwa bagi anak-anak
retardasi mental, mereka tidak disarankan untuk memperoleh pelayanan
psikoterapi ataupun terapi perilaku, padahal perilaku-perilaku yang aneh pada
anak adalah merupakan gejala tunagrahita berat atau yang sangat berat.
4.
Gangguan
Perilaku Autisme
Autisme adalah suatu istilah atau
nama yang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang aneh atau ganjil dan
kelambatan perkembangan sosial dan komunikasi yang berat.(Krik&Gallagher,1986:p
427). Anak yang mengalami autisme sulit melakukan kontak mata dengan orang lain
sehingga memberikan kesan tidak peduli terhadap orang di sekitarnya. Kelainan
utama pada anak autistik adalah dalam hal komunikasi verbal. Mereka sering
mengulang kata-kata (echolalia) dan melakukan perbuatan yang selalu sama, rutin
dan dalam pola yang tertentu dan teratur. Apabila kegiatannya tersebut
mengalami hambatan atau perubahan, maka mereka akan berperilaku aneh serta
berteriak-teriak, berjalan mondar-mandir sambil menendang atau membenturkan
kepalanya ke tembok. Kondisi ini juga sering terjadi apabila anak dalam keadaan
tegang, senang atau berada di tempat yang asing.(Rini
Puspitaningrum,1992:p.4-7).
5.
Kombinasi
Gangguan Perilaku dan Pendengaran
Memperkirakan secara pasti tentang
berapa jumlah anak yang mempunyai gangguan emosional perilaku dan yang
sekaligus gangguan pendengaran adalah hal yang sangat sulit. Hal ini sangat
bergantung pada kriteria yang digunakan untuk menentukan seberapa besar
gangguan emosional dan tingkat keparahan hilangnya pendengaran. Althshuler
memperkirakan bahwa antara satu sampai dengan tiga dari 10 anak tunarungu anak
anak yang memiliki masalah emosional (Kirk dan Gallagher,1986:p.427). Para ahli
yang konsisten memberikan pelayanan kepada anak-anak yang mempunyai gangguan
emosional dan yang sekaligus tuli, cenderung memakai klasifikasi kondisi
anak-anak itu sebagai kondisi yang ringan, sedang dan berat. Anak-anak yang
termasuk kondisi berat telah mereka pindahkan dari sekolah-sekolah untuk anak
tunarungu karena guru-guru mereka merasa`tidak mampu menangani perilakunya yang
aneh.
6.
Kelainan
Utama Tunarungu dan Tunanetra
Apabila satu dari dua lelainan utama
itu yang menyebabkan anak mengalami gangguan, maka dalam memberikan pelayanan
pendidikan, indra yang masih baik kondisinya memperoleh perhatian utama untuk
difungsikan. Bagi anak yang tuli, maka saluran penglihatan digunakan untuk
membentuk sistem komunikasi berdasarkan isyarat, ejaan jari dan membaca bibir.
Bagi anak yang mengalami gangguan penglihatan (buta), maka program pendidikan
dikompensasikan melalui alat pendengaran. Akan tetapi apa yang dilakukan
apabila kedua alat (pendengaran dan pengilhatan) tersebut rusak? Bagaimana
mengajarkan bahasa dan bicara kepada anak yang tidak dapat mendengar dan
melihat? Anak buta-tuli adalah seorang anak yang memiliki gangguan penglihatan
dan pendengaran, suatu gabungan yang menyebabkan problema komunikasi dan
problema perkembangan pendidikan lainnya yang berat sehingga tidak dapat
diberikan program pelayanan pendidikan baik di sekolah yang melayani untuk
anak-anak tuli maupun di sekolah yang melayani untuk anak-anak buta. Namun
demikian, bukan berarti anak buta-tuli harus dirampas haknya untuk mendapatkan
layan pendidikan. Dengan penangan yang baik dan tepat, anak-anak buta-tuli
masih bisa dididik dan berhasil. Contoh orang semacam ini adalah Helen Keller.
Atas bantuan Anne Sulivan sebagai tutornya yang selalu mendampinginya dengan
penuh ketekunan, Keller belajar bicara dan berkomunikasi serta memperoleh prestasi
akademik yang tinggi. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
sebagian besar anak yang tergolong tunaganda memiliki lebih dari satu
ketidakmampuan. Walaupun dengan metode diagnosis yang paling baik sekalipun,
masih sering mengalami kesulitan untuk mengidentifikasikan sifat dan beratnya
ketunagandaan yang dialami anak dan menentukan bagaimana kombinasi
ketidakmampuan itu berpengaruh terhadap perilaku anak. Misalnya, banyak anak
yang tergolong tunaganda tidak merespon terhadap rangsangan pada saat
diobservasi, seperti terhadap cahaya yang terang atau terhadap benda-benda yang
berat. Sulit ditentukan apakah anak tersebut mempunyai gangguan penglihatan
ataukah ia dapat melihat tetapi tidak mampu merespon karena adanya kerusakan
pada otak? Seringkali pertanyaan semacam ini timbul dalam merencanakan program
pendidikan bagi anak-anak yang tergolong tunaganda dalam semua tipe. Cara
apakah yang paling sesuai untuk mengajar bahasa kepada anak tunarungu yang
disertai cacat berat lain atau bagaimanakah membantu anak yang tidak dapat
berjalan dan tidak dapat belajar menampilkan perilaku sosial untuk mengajarkan
bagaimana berpenampilan yang sesuai di depan umum adalah segudang problema yang
menantang untuk dicarikan solusinya. Anak-anak yang tergolong tunaganda
seringkali memiliki kombinasi-kombinasi ketidakmampuan yang tampak nyata maupun
yang tidak begitu nyata dan keduanya memerlukan penambahan-penambahan atau
penyesuaian-penyesuaian khusus dalam pendidikan mereka. Melalui program
pengajaran yang sesuaiakan memungkinkan mereka dapat melakukan
kegiatan-kegiatan yang berguna, bermakna, dan memuaskan pribadinya.
Penyebab Anak Tunaganda
Anak tunaganda disebabkan oleh faktor yang variatif, yang dapat terjadi pada
saat sebelum kelainan, saat kelahiran, dan atau setelah kelahiran.
1 .
Faktor Prenatal :
Ketidaknormalan
kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam kandungan.
Ketidakcocokan Rh
infeksi pada ibu. Kekurangan gizi ibu yang sedang mengadung. Serta terlalu
banyak menkonsumsi obat dan alcohol.
2 .
Faktor Natal :
Kelahiran premature, kekurangan oksigen pada saat kelahiran,luka pada otak saat kelahiran.
Kelahiran premature, kekurangan oksigen pada saat kelahiran,luka pada otak saat kelahiran.
3 .
Faktor natal :
Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan mendapat pukulan atau siksaan
Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan mendapat pukulan atau siksaan
4 .
Nutrisi yang salah :
Anak tidak dirawat dangan baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu yang
sama,sehingga
dapat berpengaruh tehadap otak (meningitis atau encephalities).
5
Prevalensia Anak Tunaganda
Mengingat belum ada defininsi yang dapat diterima secara umum tentang anak tunaganda, maka tidak ada gambaran yang akurat tentang prevalensi anak tunaganda. jika menggunakan analog di Amerika Serikat, maka jumlah anak tunaganda berkisar sekitar 0,05% sampai dengan 0,1% dari populasi usia sebaya. Berdasarkan asumsi bahwa jumlah anak tunaganda di Indonesia proporsinya sama dengan yang di Amerika Serikat, maka jumlah anak anak usia sekolah di Indonesia yang sekitar 60 juta orang, maka anak tunaganda Indonesia sekitar 99.000 anak sampai 110.000 anak.
Layanan Pendidikan Anak Tuna Ganda
Pada masa lalu,tunaganda secara rutin dipisahkan dari sekolah regular,bahkan sekolah khusus.Namun sejak tahun 80-an layanan pendidikan bagi anak tunaganda semakin mendapat perhatian di tengah-tengah masyarakat, dengan mendirikan sekolah-sekolah khusus. Demikian juga program-program pendidikan bagi anak tunaganda semakin dikembangkan untuk anak usia sedini mungkin.Setidak-tidaknya program pendidikan lebih diorientasikan untuk meningkatkan kemandirian anak.untuk menjaga efekvitas program pendidikan,Maka program seharusnya mengakses empat bidang utama, yaitu bidang domestik, rekreasional, kemasyarakatan, dan vokasional.Hasil asesmen ini di mungkinkan dapat membantu dalam merumuskan tujuan yang lebih fungsional.Sementara itu dengan pengajaran seharusnya mencakup,di antaranya: ekspresi pilihan, komunikasi,pengembangan keterampilan fungsional,dan latihan keterampilan sosial sesuai dengan usianya,menyadari akan kondisi obyektif anak anak tunaganda,maka pendekatan multidipliner adalah penting.Oleh karena itu orang-orang yang sesuai dalam mengatasi anak tunaganda,seperti terapis bicara dan bahasa,terapis bicara dan bahasa,terapi fisik dan okupasional seharusnya bekerja sama dengan guru-guru kelas,guru-guru khusus dan orangtua,karena perlajuan yang lebih cocok untuk mengatasi anak-anak tunaganda berkenaan dengan masalah keterampilan adalah memberikan layanan yang terbaik daripada yang diberikan ditempat terapi yang terpisah.Untuk dapat menjamin kemandirian anak tunaganda dalam proses pembelajaran perlu didukung dengan penataan kelas yang sesuai,alat bantu dalam meningkatan keterampilan fungsionalnya. Integrasi dengan anak seusia merupakan komponen lainnya yang penting.menghadirkan sekolah regular dan berpartisipasi dalam kegiatan yang sama dengan anak-anak normal adalah penting untuk pengembangkan keterampilan sosial dan persahabatan,di samping dapat mendorong adanya perubahan sikap yang lebih positif.
Sumber : Santrock, J.W. (2008).
Psikologi Pendidikan (edisi kedua). Jakarta: Prenada MediaGroup
http://ugiw.blogspot.com/2011/01/pendidikan-anak-tuna-ganda.html
www. blog SLB Kartini Batam.com
http://ugiw.blogspot.com/2011/01/pendidikan-anak-tuna-ganda.html
www. blog SLB Kartini Batam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar